Ads

Sunday 1 November 2015

KEUANGAN DAN PERBANKAN

Pada periode sebelum krisis yakni tahun 1983 sampai 1997, terdapat beberapa kebijakan perbankan yang berpengaruh luas terhadap perekonomian. Paket kebijakan yang pertama adalah Paket Kebijakan Juni 1983 (Pakjun’83) dan yang kedua adalah Paket Kebijakan Oktober 1988 (Pakto’88).
Paket Kebijakan Juni 1983, ditujukan untuk mendorong ekspor non migas sebagai antisipasi atas merosotnya penerimaan devisa dari minyak. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong perbankan untuk menerapkan prinsip-prinsip manajemen yang berorientasi pada pasar. Bentuk-bentuk subsidi bunga dibatasi dan hanya diberikan untuk skala prioritas tertentu, sedangkan penentuan suku bunga kredit non prioritas diserahkan pada pasar.

Paket Kebijakan yang kedua (Pakto’88) dilakukan untuk pertama meningkatkan pengerahan dana masyarakat, kedua memperluas jangkauan layanan bagi masyarakat teutama pelaku ekspor, ketiga mendorong tercapainya efisiensi dan profesionalisme dalam pengelolaan bank dengan kompetisi yang sehat.

Dengan demikian cakupan paket deregulasi ini tidak terbatas pada sektor perbankan saja, akan tetapi juga pada sektor keuangan pada umumnya seperti perusahaan asuransi dan pasar modal.

Krisis moneter 1997 berdampak luas dan lama terhadap perekonomian dan khususnya perbankan di Indonesia. Sejak digulirkan Pakto’88 sudah dapat terindikasi lemahnya perbankan Indonesia. Ciri-ciri yang memperkuat indikasi tersebut antara lain : pertama, rendahnya rasio modal terhadap aktiva produktif, kedua rendahnya persyaratan modal minimum untuk mendirikan bank di Indonesia  (merupakan yang terendah di Asia saat itu) dan faktor ketiga adalah tingginya jumlah kredit yang bermasalah.

Dampak terbesar krisis moneter bagi perbankan adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank. Lumpuhnya sektor perbankan saat itu sangat berpengaruh dalam kegiatan ekonomi masyarakat, terutama yang menggunakan fasilitas bank.

Dalam kondisi yang demikian pemerintah melakukan langkah pengetatan moneter sebagai reaksi merosotnya nilai rupiah terhadap valuta asing. BI juga melakukan penghentian transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), menarik dana BUMN dan menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI).

Ada beberapa cara yang telah ditempuh pemerintah untuk menyehatkan perbankan Indonesia, yaitu sebagai berikut :
  1. Likuidasi Bank
  2. Penggabungan Bank (Merger)
  3. Restrukturisasi Perbankan
  4. Rekapitalisasi Perbankan

Tahun 2004, perbankan nasional memasuki pertumbuhan tinggi. Konsolidasi perbankan dapat dikatakan telah usai di tahun 2004. Pembubaran Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan divestasi Bank Permata menjadi pertanda telah berakhirnya masa krisis. Semua bank yang tadinya dibawah BPPN telah menyelesaikan program restrukturisasi, terutama restrukturisasi kredit bermasalah (NPL). Konsolidasi lain yaitu konsolidasi secara akuntansi, seperti halnya kuasi reorganisasi juga telah selesai. Sekalipun Loan to Deposit Ratio (LDR) belum kembali ke masa sebelum krisis, tetapi fungsi intermediasi perbankan nasional secara bertahap terus menunjukkan perbaikan.

Arsitektur Perbankan Indonesia (API) merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu sampai sepuluh tahun kedepan. Arah kebijakan pengembangan industri perbankan di masa datang oleh API dilandasi visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Ada enam pilar sistem perbankan nasional dalam API, yaitu :
  1. Struktur perbankan yang sehat
  2. Sistem pengaturan yang efektif
  3. Sistem pengawasan yang independen dan efektif
  4. Industri perbankan yang kuat
  5. Infrastruktur pendukung yang mencukupi
  6. Perlindungan konsumen

Distribusi perkreditan yang dilakukan perbankan di tanah air hanya dinikmati sebagian kecil rakyat. Sektor ekonomi rakyat banyak yaitu pertanian hanya menikmati sebagian kecil dari porsi kredit yang ada. Sektor industri, perdagangan dan jasa-jasa, walaupun hanya menampung relatif sedikit tenaga kerja, merupakan penyerap terbanyak dari kredit perbankan nasional. Hal ini mengarahkan kita pada pentingnya alokasi kredit berskala mikro dan kecil untuk memberdayakan para pelaku ekonomi.

Keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha penanggulangan kemiskinan yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan kelompok miskin dan peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan.

Salah satu masalah yang banyak dihadapai oleh usaha mikro, kecil dan menengah adalah berkaitan dengan permodalan. Sumber dana dari pihak luar umumnya berasal dari lembaga keuangan informal.

Kebijakan yang membuka akses pada lembaga keuangan formal seharusnya dilakukan secara menyeluruh di tanah air dengan cara (a) menyediakan lembaga keuangan non bank yang memberi peluang usaha ekonomi rakyat untuk meminjam tanpa jaminan (b) Pemerintah membeli premi resiko lembaga keuangan bank, dan dalam jangka panjang kemungkinan mengkaji untuk mengamandemen UU Perbankan yang membuka peluang memberikan pinjaman tanpa jaminan.


Untuk versi doc, klik Keuangan, perbankan, keuangan negara dan apbn

1 comment: